Join The Community

Selasa, 19 September 2017

ISU G30S PKI EDISI SEPTEMBER 2017

Dalam banyak penggalan sejarah Indonesia, kisah yang tak selalu habis diceritakan dalam pergerakan ialah kisah terbunuhnya angkatan perang RI yang terjadi 30 September 1965. Kisah ini telah menelan duka yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan dan juga para generasi muda yang tak tau mana yang harus disalahkan. Banyak penggiat kaum intelektual serta aktivis mencoba menerobos atau bahkan membeda peristiwa tersebut dan selalu berujung pada ujung tombak yang tumpul.

Ironisnya sekalipun reformasi telah membuka dada atas keterbukaan informasi publik namun  para sejarawan belum mampu memuaskan dahaga dan menjadi tumpuan untuk menemukan titik temu dari benang sejarah bahwa sesungguhnya apa yang terjadi ditahun 1964 adalah SALAHNYA ORANG INI ATAU JENDERAL ITU.??. Saya mengharapkan ada pernyataan yang tegas seperti itu supaya tidak mengundang alibi baru atau informasi fiktif pada generasi diabad reformasi.

Dibulan september 2017 menjadi contoh bagaimana pertanyaan harus dijawab???
Banyak media swasta memberitakan intruksi Pimpinan komandan Petinggi Negera untuk nonton bareng FILM G30S PKI yang didaur ulang. Yang menjadi kontrovesi adalah banyak pihak menilai bahwa film G30S PKI hasil rekayasa Orde baru yang ingin menyingkirkan musuhnya sehingga Ideologi komunis tidak memiliki ruang pergerakan di Indonesia. Manager Advokasi HAM ASEAN dari Huma Right Working Group Daniel Awigra mengatakan "Film yang diproduksi jaman orba itu meninggalkan banyak problem, Film penumpasan G30s PKI dibuat sebagai alat propaganda Orde Baru".dikutip dari website Tirto.Id. Pemerintah Orba berambisi menghabisi lawan-lawan politiknya terutama partai komunis indonesia (PKI), ujarnya.

Saya sebagai orang awan merasa bingung terutama terkait Wacana Jokowi untuk membuat ulang films G30S PKI karena sejatinya kejadian 30 september harus mengalami penjernihan sejarah terutama menangkap fakta yang sebenarnya. Tentunya kita tak ingin menjadi  korban HOAX yang terus berkelanjutan. menurut saya justru masih banyak karya films yang juga lebih baik diangkat ketimbang membanting stir kedalam ruang gelap 30 september yang dapat menimbulkan kontroversi terutama pernyataan terkait 
Adakah saksi sejarah atas kejadian tersebut?
Siapakah narasumber Utama dari Films tersebut?
Sudahkah memenuhi Standar penelitian yang baik mengapa Films diterbitkan?
Menurut saya itu semua konyol jika belum dijawab dengan tegas.






Selasa, 05 September 2017

KRISIS KEMANUSIAN DI MYANMAR

Akhir-akhir ini nampaknya negara myanmar sedang mendapat trending topic perhatian dunia barat dan negara-negara kawasan asia lainya termaksud indonesia. 

Alih-alih banyak aktivis reformasi dan pers mengomentari dan menulis blog terkait persoalan tersebut. Termakud saya dan kawan seperjuangan Wira Wahyu Utama dari UNHAS Makassar yang sempat cecok pendapat di media sosial terkait isu Rohingnya di Myanmar.
 
Akar persoalan yang menjadi sorotan media adalah telah terjadi pembantain yang menelan ratusan korban pada suku minoritas muslim Rohingnya. Rohingnya adalah kelompok etnis indo-Arya dari rakhine di daerah arakhan Burma yang secara linguistik (bahasa) masih memiliki hubungan dengan etnis indo-Arya india dan bangladesh yang dimana suku ini dimasa lalu pernah berperang (bermusuhan) dengan masyarakat suku Burma Sino-Tibet.

Pada abad 16 terjadi dorongan kolonialisasi pemerintahan inggris di myanmar dan mendorong para penduduk arakan menjadi buruh tani termaksud suku Rohingnya  dari daerah seperti begal untuk dijadikan buruh diladang kolonial inggris. Karna semakin banyaknya penduduk muslim di arakan maka pada tahun 1872 pemerintahan inggris melakukan sensus penduduk Rohingnya untuk dijadikan penduduk Myanmar di bawah kekuasaan Inggris.

Dimasa perang dunia II berlangsung, pemerintahan inggris banyak memakai orang-orang muslim Rohingya sebagai tentara pembantu kolonial. Keadaan tersebut menjadi titik temu pada tahun 1942 terjadi pertikaian antara suku Rohingya dan orang-orang budha Rakhine. konflik berdarah tersebut telah menjadi masalah pelik yang menimbulkan pertikaian komunal yang berkepanjangan sehingga pada masa Pemerintahan Jendral Ne Win  tahun 1982 memberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan Burma yang berisi "Pencabutan Hak kewarganegaraan Rohingnya" di Myanmar.

Isu ini kemudian berenang bagaikan air bah dari puncak gunung yang menembur akar-akar kemunusiaan terutama ketidakjelasan status kependudukan Rohingnya yang berlangsung sejak tahun 1990 sampai saat ini. Geliat akitivis kemanusiaan dunia termaksud indonesia tak henti-hentinya menyuarakan aspirasi mengenai Human Right kepada PBB dan kedutaan Myanamar di Indonesia.

Saya ingin sekali menguliti persoalan ini dari sisi lain. Menurut Wira wahyu utama dalam terbitan jurnalnya 05 september 2017 mengatakan"Situasi disana itu rumit. kita tak boleh mengambil kesimpulan hanya dengan melihat gambar-gambar kekerasan ". Ujarnya. 

bahwa persoalan yang tengah melanda suku Rohingnya tak dapat dikatakan sebagai pengkerdilan kelompok islam Rohingnya di Myanmar. ini adalah sebuah akibat dari pada perbuatan dimasa lalu dimana orang-orang Myanmar merasa tersiksa saat dijajah oleh inggris. Sehingga setelah menjadi sebuah negara Republik maka seluruh antek-antek kolonial harus diberangus dari Daratan Myanmar.

Memang tak dapat disangkal bahwa tindakan militer Myanmar juga adalah sebuah kesalahan karena banyak anak-anak, orang tua dan para ibu-ibu harus menderita, mereka harus menentukan nasibnya pada ujung suara Senapan militer Myanmar terlebih panyak negara-negara yang penerima suaka seperti Amerika dan lainya belum menentukan sikap yang jelas terhadap hal tersebut. Inilah yang menimbulkan gelombang demostras di tanah air, para Mahasiswa, Aktivis dan kelompok keagamaan mengutuk tindakan tersebut.

Sekalipun informasi tersebut tidak seheboh ditanah jawa dan sekitarnya bukan berarti Mahasiswa ditanah Irian tidak melakukan tidakan apa-apa. banyak mahasiswa geliat melakukan diskusi teras mengkaji akar dari pertikaian ini. Namun lagi-lagi kita mendapat kesimpulan bahwa "fakta sejarah adalah suatu cerita dimana engkau memulai dan memiliki alasan atas segala tindakan dimasa kini". Ada dua sisi mata koin : di Myanmar antara sikap patriotisme warga negara terhadap negaranya dan sikap negara lain yang menganggap itu sebagai pelanggaran Hak asasi Manusia
Hal tersebut agak sukar direspon terutama pertanyaan manakah yang harus disalahkan?

Mungkin anda punya jawaban masing-masing....!!!