Join The Community

Rabu, 11 Maret 2015

Setitik Cerita Manis di Tanah Kajang

Dari sekian banyak perkampungan didaratan Sulawesi, Tanah Kajang menjadi cerita primadona  yang selalu saya ingat takkalah tiba dikota Makassar. Sekalipun kota Metropolis seperti makassar banyak menawarkan keelokan surga moderen dengan gedung-gedungnya yang tinggi, Mall, Warkop tempat tongkrongan anak muda yang bertebaran disudut-sudut kota, atau lampu-lampu penghias kota sepanjang jalan perintis kemerdekaan begitu menawan, maka ini sangatlah berbanding terbalik dan hampir tidak ditemukan jika anda ketanah kajang (Ammatoa) dan saya ingin menulis sebersik cerita ini tentang kisah saya selama disana. 

Kajang adalah daerah pedalaman yang terletak dikabupaten Bulukumba yang jauh dari pusat kota. Orang sulawesi selatan mengenal tanah Kajang sebagai dari wisata yang cukup populer karena masyarakatnya masih memengang erat adat kesukuan. Jika anda pernah kesana saya dapat pastikan bahwa anda sudah tidak asing lagi mendengar kata "Tanah Adat Ammatoa"(begitulah orang menyebutnya disana), kesan pertama saya disana adalah melihat masyarakatnya yang memakai pakaian hitam-hitam hampir seluruh tubuh dan hebatnya masyarakat disana jika beraktivitas tidak memakai sendal sebagai alas telapak kaki alias kaki telanjang ala orang timur. 

Saya cukup kaget melihat masyarakat disana menjalani versi hidup mereka, sekalipun saya anak kampung tapi saya belum pernah melihat seperti itu sewaktu kecil. Jika di Kota Makassar saya menjumpai pernak-pernik kehidupan yang serba moderen maka Tanah adat ammatoa kita disajikan dengan kehidupan perkampungan yang amat sangat tradisional namun cukup memikat hati, saya cukup betah selama disana. Masyarakat disana begitu ramah, menganggap tamu seperti keluarga mereka, seolah hal yang paling sulit untuk dijumpai pada masyarakat kota. 

Inilah yang saya rindukan kalah mengingat Tanah kajang. Masyarakat suku kajang Tanah Toa hidup dalam kesederhaan. Jika anda ingin berkunjung disana, jangan pernah mengharapkan bisa menoton TV atau mendengar Radio atau di waktu tidur anda tidak akan menemukan kasur atau pengalas tempat tidur, semua orang tidur dilantai tanpa pengalas, karena masyarakat disana menganggap bahwa Kasur, TV, Radio, atau semua yang berkaitan dengan produk moderen dapat menjauhkan tanah kajang dari alam dan para leluhur nenekmoyang mereka. Modernitas hanya akan mengancam ikatan kohesi yang telah lama ditanamkan oleh para leluhur karena cenderung menyimpang sehingga masyarakat disana sangat sensitif dengan perubahan pan ala moderen. Bahkan pernikahan saja setiap Laki atau Perempuan (Kajang Dalam) harus orang ditanah mereka sendiri, jika tidak maka para petua Adat tidak akan merestua pernikahan tersebut.

Seluruh pengaulan masyarakat suku Ammatoa di ikat tunduk pada Ammatoa atau petua adat disana, setiap lingkaran sosial masyarakat akan terikat satu sama lain, mereka menuduk pada satu petua saja. Sekalipun beberapa sumber saya temukan bahwa suku kajang telah sedikit mulai tersentuh dengan moderenitas terutama anak-anak muda yang mulai sekolah namun secara umum saya melihat masyarakat disana begitu erat dan dibesarkan dari tradisi "Ammatoa".

Selama disana saya melihat perkampungan warga di pagari lahan-lahan persawahan dan hampir sembilan puluh persen anak-anak di ditanah kajang hidup dan makan dari lahan pertanian dan perkebunan. Pantas saja  orang dewasa dan anak-anak begitu sehat, jarang sakit-sakitan, lagi kebal terhadap penyakit karena mungkin makanan mereka yang serba alami dari hasil hutan bukan makanan olahan produksi pabrik-pabrik konglomerat.

Saya banyak belajar tentang banyak hal selama disana, bukan soal pelajaran mata kuliah seperti yang diajarkan dosen-dosen dikampus, tapi nilai-nilai yang ditanamkan petua adat pada anak-anak disana, semangat kekeluargaan, Gotongroyong, dan sikap lapang dada. Ajaran-ajaran yang rasa membawa saya menyilami kehidupan saya dimasa silam, sewaktu kecil pelajaran ini saya temukan kala baru menaik jejang pendidikan kelas 2 SD Mata Pelajaran Kewarganegaraan (PPKN), terkadang saya sering terseyum sendiri kalau mengingat-ngingatNya.

Maklum saja, mungkin selama dikampus saya diajarakan untuk berdaya kritis segalah apapun, atau bagaimana mengomentari tindakan orang lain sehingga terkadang saya lupa merasakan perasaan orang lain. Suatu yang sangat bedah, sewaktu SD saya diajarkan berlapang dada "rasanya sangat begitu dewasa pandangan ini", namun hampir terlupakan semua sewaktu kuliah. Suatu ritual hidup yang aneh, harusnya di Masa Sekolah Dasarlah kita diajarkan kritis dan setelah kuliah kita mulai diajarkan berlapang dada tentang segalah rasa atau dengan istilah orang timur "Cubitlah kulitmu maka anda akan merasakannya hampir seluruh tubuhmu. Saya cukup beruntung selama disana saya dapat menemukan kembali seperti merefresh kembali ingatan saya.

Jika anda belum pernah kesana, saya sarankan kalau ada waktu silakan berkunjung, mungkin anda akan merasakan banyak pembelajaran yang hampir hilang dari pelupuk mata kita saat ini. Asalkan anda berlaku sopan maka anda akan baik-baik saja.




0 komentar:

Posting Komentar