Saya
memang kurang begitu tahu tentang pengelolaan uang di arena pasar, setahu saya
para orang tua ditanah Buton di awal fase perdagangan dimulai dengan sistem barter (barang dengan barang) sebagai nilai tukar sejak zaman berdirinya kerajaan Buton 1332 M sampai masa kesultanan. Untuk mendapatkan sebuah barang para nenekmoyang buton tidak perlu banyak mekanisme sistem yang mengatur di pasar.
Ini pula terjadi pada sejarah tertua nusantara, para nenekmoyang indonesia banyak melakukan perdagangan di berbagai wilayah. saya masih ingat kakek saya, semasa kecilku ia adalah pria tangguh yang mampu menembus jajirah negara Singapore untuk melakukan perdagangan. kakek saya seperti indiana jones penjelajah angkasa nusantara dengan kapal kecil seperti kapal Finisi ala orang Buton.
Kakek saya belum mengenal sistem pasar bebas (neoliberalisme) yang diketahui oleh generasi saat ini. jika manusia moderen telah menggunakan teknologi kompas (GPS) untuk mengetahui arah angin menentukan titik tujuan untuk mendapatkan uang maka kakek saya memakai kompas sang kuasa ilahi (Berdasarkan petunjuk bintang-bintang di angkasa).
Bagi saya kisah ini telah memberikan makna mendalam tentang arti perkembangan zaman. Mungkin saja kakek saya akan kaget kalau melihat uang bukan hanya sebagai alat tukar yang diketahui di masa zamannya tetapi telah menjadi ukuran nilai sosial seolah Raja untuk menentukan masa depan anak-anak cucunya. Mungkin kakek ku Pernah memimpikan masa-masa saat ini, namun yang tak terpikir oleh kakekku bahwa uang telah membuat anak cucunya menjadi serakah.
Apakah mungkin ini kesalahan zaman yang tengah memposisikan uang sebagai raja? Ataukah mungkin cucunya yang tidak siap dengan hadirnya era moderen?
Menurut saya tidak ada yang perlu disesali, setiap zaman punya masa keemasanya. Kehadiran paham manusia ekonomicus telah membawa pertentangan antara kaum Kapitalis dan kaum Sosialis kemeja pendidikan. yang perlu kita telaah adalah bagaimana memaknai zaman tanpa harus merubah karakter kita menjadi orang indonesia. tidak menjadi koloni dari bangsa-bangsa barat yang menggunakan uang sebagai imperium life liberty mereka.
Saya memahami banyak kesederhanaan hidup dari kakek saya, mampu menembus daratan singapore tanpa harus mengalami dekolonialisasi dari negara lain, jangan lagi seperti yang dikatankan Pramoedya ananta Toer "Indonesia adalah negeri para budak, budak diantara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain". Sekitar jutaan tahun terciptanya Gugusan pulau-pulau negeri ini, ia telah melewati berbagai fase zaman, tidak ada sepetah kata dari nenekmoyang indonesia yang mengajarkan anak cucunya untuk mengenal uang sebagai Raja kehidupan, Negeri ini hanya mengenal satu nama "kita adalah Indonesia, negeri yang tak pernah luntur seiring berjalanya zaman, tetap tunduk pada nilai-nilai kesederhanaan, walaupun ribuan pulau memisahkan kita, Jiwa Indonesia terpatri dalam dada Garuda yang melebarkan sayap dan menawarkan punggungnya untuk anak-anak Nusantara. Itulah jiwa kesederhanaan nenek moyang kita yang terlisan dalam balutan nilai-nilai pancasilah".
Saya memahami banyak kesederhanaan hidup dari kakek saya, mampu menembus daratan singapore tanpa harus mengalami dekolonialisasi dari negara lain, jangan lagi seperti yang dikatankan Pramoedya ananta Toer "Indonesia adalah negeri para budak, budak diantara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain". Sekitar jutaan tahun terciptanya Gugusan pulau-pulau negeri ini, ia telah melewati berbagai fase zaman, tidak ada sepetah kata dari nenekmoyang indonesia yang mengajarkan anak cucunya untuk mengenal uang sebagai Raja kehidupan, Negeri ini hanya mengenal satu nama "kita adalah Indonesia, negeri yang tak pernah luntur seiring berjalanya zaman, tetap tunduk pada nilai-nilai kesederhanaan, walaupun ribuan pulau memisahkan kita, Jiwa Indonesia terpatri dalam dada Garuda yang melebarkan sayap dan menawarkan punggungnya untuk anak-anak Nusantara. Itulah jiwa kesederhanaan nenek moyang kita yang terlisan dalam balutan nilai-nilai pancasilah".
0 komentar:
Posting Komentar